PEMERINTAHAN - Indonesia adalah negeri kaya akan janji. Setiap kali musim pemilu datang, rakyat disuguhi pidato-pidato yang membuat hati berdebar penuh harapan. Di podium megah, para pemimpin berbicara tentang keadilan, kesejahteraan, dan masa depan cerah yang konon tinggal selangkah lagi diraih. Pajak tidak akan naik, sekolah akan gratis, koruptor akan dikejar hingga ke Antartika—semua terdengar bak orkestra yang merdu di telinga. Tapi, seiring waktu berlalu, janji-janji itu berubah menjadi angin lalu.
Begitu kampanye selesai, realitas mulai menunjukkan wajah aslinya. Pajak naik tanpa basa-basi, membuat rakyat yang sudah pas-pasan semakin tercekik. Pendidikan, yang katanya akan gratis, tetap jadi barang mahal—anak-anak desa harus puas belajar dengan buku lusuh di sekolah yang hampir roboh. Koruptor? Alih-alih dikejar hingga Antartika, mereka hanya "liburan singkat" di penjara mewah sebelum kembali melenggang dengan senyum lebar.
Lalu subsidi, yang seharusnya menjadi hak rakyat kecil, perlahan tapi pasti dicabut. Gas melon naik, BBM bersubsidi hilang, listrik semakin mahal. Semua ini terjadi sambil pemerintah berdalih bahwa kebijakan itu untuk "stabilitas ekonomi." Stabil untuk siapa? Tentu saja bukan untuk rakyat jelata.
Ketika rakyat mulai menagih janji-janji yang dilontarkan dulu, mereka justru dicap sebagai pembenci atau provokator. Kritik dianggap ancaman. Dianggap tak tahu berterima kasih. Padahal, rakyat hanya ingin apa yang sudah dijanjikan. Rakyat hanya ingin hidup layak, tanpa merasa dipermainkan.
Lebih parah lagi, kemiskinan yang seharusnya diberantas malah dijadikan alat pencitraan. Ketika ada kepentingan politik, bantuan sosial mendadak mengalir deras—bukan untuk menyelesaikan masalah, tetapi hanya untuk menampilkan "kebaikan" di layar televisi. Ironisnya, bantuan itu berhenti begitu kotak suara ditutup. Apa yang tersisa? Rakyat kecil tetap miskin, tetap mengemis.
Inilah wajah para pemimpin kita: pada tataran ide, mereka "boleh." Pada tataran praktek, mereka "memble." Mereka lihai dalam beretorika, tapi gagap dalam bekerja. Ketika janji ditegakkan tinggi-tinggi, yang terjadi justru makian kepada rakyat yang menagihnya.
Kita, sebagai rakyat, harus terus bersuara. Harus terus menuntut agar janji tak hanya menjadi dekorasi politik. Karena sejatinya, kepemimpinan bukan tentang kata-kata indah, melainkan tentang tindakan nyata. Jangan biarkan retorika kosong terus menerus menindas impian kita akan Indonesia yang lebih baik.
Jakarta, 28 Desember 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi